bpe.telkomuniversity.ac.id — Dalam sebuah wawancara dengan Indra Chandra, kita dapat menyaksikan betapa pentingnya memahami beragam alat ukur untuk pemantauan kualitas udara. Fokus utama pembicaraan adalah pada instrumen yang digunakan, perbedaan antara instrumentasi standar dan mikrosensor atau low-cost sensor (LCS), serta implementasi Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait penggunaan LCS tersebut.
Ada dua jenis instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas udara. Instrumen standar, yang menjadi acuan utama seperti yang digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), memiliki resolusi dan keandalan yang tinggi dan telah tersertifikasi internasional. Instrumen ini tidak hanya memberikan data yang valid, tetapi juga dapat digunakan oleh regulator untuk pengambilan kebijakan. Di sisi lain, terdapat LCS dengan tingkat sensitivitas yang lebih rendah, yang dapat memberikan data indikatif tentang polutan baik dalam bentuk gas maupun partikulat.
Perbedaan mendasar muncul dalam pemilihan metode pengukuran. KLHK, melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN), menetapkan SNI 9178 tahun 2023 terkait penggunaan LCS untuk pengukuran kualitas udara ambien. Namun, penting untuk memahami bahwa alat berbasis LCS seharusnya tidak digunakan sebagai pengganti metode referensi. Perangkat ini, yang menggunakan instrumen standar, adalah acuan utama berdasarkan peraturan perundang-undangan berdasarkan yang disampaikan Indra.
Indra menjelaskan bahwa perbedaan hasil pengukuran antara alat standar dan berbasis LCS di setiap daerah diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor seperti instrumen harus terkalibrasi dengan baik, baik di laboratorium maupun kolokasi (tandem alat) di lapangan, serta ketelusuran datanya. Selain itu, alat yang tidak terpelihara dengan baik dapat menghasilkan data yang tidak akurat. Pemahaman yang mendalam terhadap standar internasional dan penggunaan metode referensi menjadi kunci dalam mendapatkan data yang konsisten dan dapat diandalkan.
Indra menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan dalam membandingkan dan memanfaatkan data kualitas udara. Data yang dihasilkan oleh instrumen yang menggunakan metode referensi seharusnya menjadi acuan utama, sementara data dari instrumen portable dapat memberikan indikasi tambahan. Pemantauan secara real-time melalui platform online juga disarankan untuk menjaga transparansi dan memberikan informasi yang lebih mudah diakses oleh masyarakat.
Dalam mengatasi permasalahan kualitas udara, pemahaman yang baik tentang perbedaan antara instrumen standar dan LCS serta implementasi metode pengukuran yang tepat sangat diperlukan. Dengan keterbatasan anggaran di setiap daerah, penggunaan LCS bisa menjadi jalan pertama untuk melakukan asesmen lingkungan udara. Ketika terjadinya anomali dan/atau adanya kadar polutan di atas baku mutu, maka perlu dilakukan pengukuran berbasis alat utama tersebut. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga, dan masyarakat menjadi kunci dalam mengoptimalkan penggunaan data untuk menjaga kualitas udara yang baik bagi seluruh masyarakat.